Rabu, 23 November 2011

Pendidikan Nasional: Ke Mana Akan Menuju?

Pendidikan Nasional: Ke Mana Akan Menuju?

Maju mundurnya sebuah bangsa sangat ditentukan oleh bagaimana mereka mengelola pendidikannya. Sebab, melalui pendidikanlah suatu bangsa membentuk budayanya, dan dengan pendidikanlah mereka mengukir masa depannya. Namun, mari kita lihat, apakah sudah demikian yang terjadi pada pendidikan nasional kita?

Kalau kita tengok visi misi pendidikan nasional, dapat kita lihat betapa ideal tujuan pendidikan kita. Sayangnya, visi yang ideal itu belum cukup diturunkan ke dalam rencana-rencana strategis dan agenda-agenda yang brilian. Barangkali justru karena terlampau ideal itulah maka visi misi itu tinggal sebatas utopia. Yang terjadi kemudian adalah, seperti sudah dikatakan oleh banyak ahli, bahwa pendidikan di negara ini telah kehilangan arahnya. Mau ke mana sebenarnya pendidikan kita menuju? Inilah pertanyaan besarnya.

Sejatinya, kalau kita ingin menjadi bangsa yang besar, dengan peradaban yang kuat dan kebudayaan yang disegani oleh bangsa lain, tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali menyelenggarakan pendidikan yang berwawasan kebudayaan dan kebangsaan. Tapi lihatlah, sudah sejak lama kebudayaan dicabut dan dipisahkan dari sistem pendidikan kita—kini kebudayaan di negeri ini hanya dimaknai sebatas “pariwisata”. Sudah sejak lama pula pendidikan kita melupakan persoalan karakter kebangsaan, sehingga patriotisme dan nasionalisme semakin langka di negeri ini. Padahal, di Amerika—negeri yang selalu dijadikan sebagai ‘kiblat’ bangsa ini dalam segala aspeknya—setiap anak didik, tidak pandang warna kulit, suku, agama, dan rasnya, dididik sejak dini untuk merasa bangga (bahkan dalam tataran tertentu merasa superior) menjadi orang Amerika. Mereka semua, tanpa terkecuali, dengan bangga berteriak: “I’m American!”  Sementara di negeri ini, generasi mudanya semakin jauh dari rasa nasionalisme dan semakin malu mengakui keindonesiaannya.

Kalau melihat kebijakan-kebijakan pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah, kita pantas merasa prihatin. Betapa tidak, pemerintah seperti orang linglung yang mengalami disorientasi tujuan, sehingga memilih hal-hal instan dan serba-angka sebagai tujuan jangka pendeknya, serta sibuk membangun citra diri dengan jargon-jargon kosong yang menipu. Sementara itu, hal-hal besar yang lebih penting justru terabaikan. Satu contoh kecil, kini prestasi pendidikan nasional diukur hanya dengan nilai ujian nasional dan kemenangan di olimpiade-olimpiade. Tampaknya, intelektualitas telah menjadi dewa di sini. Sementara itu, lupakan saja masalah spiritualitas, moralitas, karakter, atau kepribadian. Pantaslah jika pendidikan kita hanya menghasilkan orang-orang pintar dengan IQ super tetapi hati dan jiwanya kosong. Mereka pandai tapi tak punya hati, cerdas tapi tak berkarakter.

Peringatan Hari Kemerdekaan bangsa kali ini seyogianya dijadikan sebagai momentum untuk menatap kembali masa depan bangsa Indonesia melalui pendidikan nasional yang terarah. Hal paling mendasar yang seharusnya menjadi perhatian utama pemangku pendidikan nasional adalah mengenai pembentukan karakter dalam diri anak didik; satu hal yang selama ini justru sama sekali diabaikan. Sejak Pendidikan Moral Pancasila dan P4 ala orde baru—yang juga gagal itu—berlalu, pendidikan kita belum lagi memiliki ujung tombak pendidikan karakter bangsa. Padahal, dari sinilah masa depan bangsa Indonesia mulai diukir. Akan seperti apa bangsa ini pada masa yang akan datang, sekaranglah penentuan takdirnya. Dan kita telah sama sekali abai dengan takdir kita ini! Maka, dengan momentum kemerdekaan ini, mari kita ukir kembali masa depan bangsa ini dengan mereorientasi pendidikan nasional kita yang lebih berwawasan kebudayaan dan kebangsaan.

Dalam kaitan inilah peran guru tidak boleh dilupakan. Bagaimanapun harus diakui bahwa guru merupakan elemen yang sangat vital dalam penyelenggaraan pendidikan, karena merekalah ujung tombak pendidikan dalam membentuk karakter anak didik. Tetapi, justru persis di sinilah letak permasalahannya. Ibarat tubuh, guru kita saat ini sedang sakit, sehingga tidak mampu berbuat dengan sebaik-baiknya. Lalu pemerintah datang memberikan obat yang—sayangnya—tidak tepat. Persoalan guru di negeri ini, secara umum, adalah persoalan mental. Yakni bahwa mental mereka belum cukup siap untuk menjadi pendidik (mungkin sekadar siap mengajar), karena begitulah sistem pendidikan telah membentuk dan mencetak mereka. Tapi mari kita lihat, obat apa yang diberikan pemerintah untuk mengobati penyakit yang sesungguhnya sudah kronis ini. Demi meningkatkan mutu guru, pemerintah membuat program instan bernama sertifikasi, yang di dalamnya terdapat iming-iming tunjangan profesi yang menggiurkan. Apakah sertifikasi ini merupakan obat yang tepat untuk penyakit kronis itu? Sepertinya tidak. Sebaliknya, program ini justru memunculkan masalah-masalah baru yang semakin membuat parah penyakit yang sudah kronis itu. Maraknya jual beli ijazah dan sertifikat adalah salah satu contoh yang bisa disebut di sini.

Saatnya pemerintah dan kita semua merenungkan kembali tentang arah pendidikan nasional, demi masa depan bangsa yang lebih bermartabat. Mari kita jadikan HUT Kemerdekaan RI ke-65 ini sebagai momentum untuk kebangkitan pendidikan nasional!

Sumber: http://diksia.com/2010/08/pendidikan-nasional-ke-mana-akan-menuju/